Ponpes ini dibangun sejak tahun 1978 di areal
seluas 4 hektare, dan kira-kira baru 1,5 hektare dari luas tanah itu
yang digunakan untuk bangunan utamanya. Arsitektur bangunannya sangat
menawan. Sangat serius. Ini terlihat di setiap detail ornamennya.
Benar-benar tak kusangka, kalau di sebuah desa kecil yang bernama
Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang berdiri sebuah bangunan yang
arsitekturnya yang bisa membuat hati berdecak kagum. Bagiku, seperti
sedang berada di Jatim Park,
tapi ini dalam bentuk wisata religi. Maksudnya, begitu kalian datang ke
sini, kalian akan disambut oleh sebuah wahana demi wahana, dari kalian
melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di dalam bangunan pondok
pesantren ini, sampai kalian keluar. Dari tingkat pertama sampai dengan
tingkatnya yang ke sepuluh.
Lebih dari itu, arsitektur yang dipakai bukan hasil
ilmu dan imajinasi seorang arsitek yang handal. Tapi dari hasil
istikharah si pemilik pondok, KH Ahmad Bahru Mafdlaludin Soleh. “Jadi
kita tak tahu kapan pembangunan ponpes ini selesai. Sekarang sudah 10
lantai dibangun, bisa jadi nanti ditambah atau bisa-bisa dikurangi.
Semua tergantung istikharah Romo Kyai (Kyai Ahmad, pen.). Romo Kyai juga
yang ngepaskan amalan-amalan. Mungkin karena itu, di luar sana muncul
berita bahwa bangunan ini adalah masjid tiban.
Padahal ini bukan masjid tapi ponpes, “ tutur Gus Alief Sumarsono, salah
seorang santri yang bertugas untuk mengantarku berkeliling ketika itu.
Sebelum aku bertanya tentang kegundahan hatiku
perihal kenapa kok harus membangun bangunan yang begitu megahnya itu,
padahal uangnya kan bisa digunakan untuk membantu sesama, Gus Alief juga
sudah terlebih dahulu menambahkan, “Banyak yang berkata bangunan tidak
dibawa mati. Tapi kita tidak begitu. Kalau hanya diberikan orang miskin,
misal uang sepuluh ribu. Ya, sudah hanya buat makan hari itu saja terus
gak berarti. Tapi kalau uang sepuluh ribu itu buat beli batu-bata, jadi
bagian dari bangunan ponpes ini. Lihat sampeyan atau
pengunjung lain yang datang ke sini senang hatinya. Syukur-syukur kalau
nanti kebuka hatinya, tentu hal itu akan lebih barokah.”
Gus Alief tak sekadar ngecap, tiap hari
selalu datang pengunjung dari berbagai kota ke ponpes ini. Di buku tamu
pun berbagai komentar tentang keindahan ponpes ini tertulis. Bahkan, tak
jarang ada yang mengaku tersentuh hatinya ketika memasuki sebuah ruang.
“Tiap orang berbeda. Sampean mungkin tersentuh di ruang
mushala, mungkin yang lainnya di taman. Dulu ada orang Tasikmalaya
datang malam-malam, tobat di sini setelah sebelumnya mendatangi ponpes
ini,” tutur Gus Alief.
Ilmu Ikhlas
Sejak tahun 1978, Kyai Ahmad murid Kiai Sahlan di
Sidoarjo ini memilih Turen untuk mendirikan ponpesnya. Sejak itulah,
dengan dibantu oleh para santrinya, Kiai Ahmad memulai pembangunan
ponpes dengan alat pertukangan sederhana dan proses belajar sendiri.
Jadi hangan heran kalau akhirnya santri-santrinya punya spesialis
ketrampilan.
Santri Kiai Ahmad sekarang ada 32 yang sudah
berkeluarga dan tinggal di sini. Jadi bisa dihitung tambahan santrinya.
Sedang yang belum berkeluarga ada 37 orang. Semua santri itulah yang
menjadi tukang sekaligus mandor bangunan ini. Mereka bekerja tidak
menggunakan alat-alat berat modern. Semua dikerjakan sendiri.
Dengan belajar langsung dalam pembangunan ponpes
inilah para santri diajar ngaji kehidupan sehari-hari. “Mereka yang
sudah berkeluarga pun yang belum akan memiliki peran sendiri-sendiri Di
ponpes ini, orang bertabiat A sampai Z ada. Di sinilah mereka tersentuh
hatinya. Dengan ikut berpartisipasi ini mereka mengamalkan ajaran cinta
bukan pahala,” ungkap Gus Alief.
Harus diakui, lamanya proses pembagunan ponpes ini
mengisyaratkan perlunya kesabaran dan keikhlasan. Tiap detil ornamen
harus digarap dengan sabar dan teliti. Selain pekerjaan yang tak mudah
itu, sebagai tukang, para santri juga bukan orang yang dibayar.
Keikhlasanlah yang akhirnya menjadi oase di dalam hatinya.
“Semua itu tentu saja sumbernya dari cinta. Dalam
agama kita diajarkan itu semua. Dengan menjalani itu semua para santri
membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati. Kalau raganya yang
sakit, datang ke sini maka yang disembuhkan adalah hatinya dulu,” urai
Gus Alief. Sesudah itu semua, yang tak boleh dilupakan adalah ibadah
syukur. “Ngibadah syukur tidak ada berhentinya. Yang tidak
bisa, ya kita doakan saja.” Pungkas Gus Alief.
Bangunan Hikmah
Bukan Nafsu
SETIAP
tanggal 17 Agustus atau ketika pondok mengadakan tasyakuran, di ponpes
ini selalu dibentangkan bendera merah putih yang beratnya kira-kira
mencapai 1 kuintal. Di salah satu lantai atas, tali-tali sudah ditata
membentuk bentangan bendera yang sangat besar. Di bawah bentangan itu,
ada kios-kios souvenir yang dikelola oleh para santri wanita.
Di pintu gerbang utama, kalian akan melihat dua
buah bangunan mirip guci yang sangat besar dan tinggi berwarna oranye
dan biru. Keduanya dipakai untuk pos. Di sisi kanan terletak sebuah
taman yang dikelilingi pagar seperti taman bergaya Persia atau India.
Di lantai dasar, memasuki pintu utama, lewat lorong
yang di sisi kiri kanannya penuh ornamen. Ornamen itu mirip batik
dipenuhi bentuk daun atau bunga. Di sisi lain juga ada kaligrafi. Di
salah satu lantai juga ada beberapa ruang mirip gua, dipenuhi batu-batu
yang diterangi lampu. Sementara di sisi kiri-kanannya beberapa akuarium
berjajar dipenuhi berbagai ikan hias.
Semakin lama disusuri semakin banyak aku menemukan
keindahan. Ada sebuah kolam lengkap dengan perahu yang penuh hiasan yang
biasa digunakan untuk acara foto pre-wedding bagi pasangan
calon pengantin. Di pinggir pondok juga ada taman margasatwa. Di situ
ada beberapa pasang kijang dan beberapa ekor buruh cendrawasih.
Keindahan ini sangat diperhatikan. Seperti kata Gus
Alief di atas, hal itu agar membuat para pengunjung senang berada di
lingkungan ponpes. “Siapa tahu mereka akan terketuk, terbuka hatinya.
Demikian juga dengan santri-santri di sini, mereka semua belajar,” ujar
Gus Alief.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar