31 Mar 2011

MASJID BESAR TUREN



Ini bukan mimpi. Aku benar-benar disana. 10 tingkat yang nyata. 10 tingkat yang menakjubkan. Aslinya bernama Ponpes Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah dan, selayaknya pondok’an, pastinya di dalamnya terdapat masjid. Tapi ini bukan “masjid agung”, bukan pula “masjid rame lingkungan” begitulah sebutan oleh kuarga besar PUSKESMAS PURWANTORO yang telah  mengunjungi tempat ini, ataupun “masjid tiban” sebagaimana cerita-cerita yang selama ini tersebar di masyarakat ataupun sebuah surat kabar lokal yang mengada-ada. Bangunan ini murni pondok’an. Ini hanya sekedar pondok pesantren, tapi…. (lho kok ada tapinya?) arsitektur bangunan inilah yang membuat pondok pesantren ini lain daripada yang lain.
Quantcast

     Ponpes ini dibangun sejak tahun 1978 di areal seluas 4 hektare, dan kira-kira baru 1,5 hektare dari luas tanah itu yang digunakan untuk bangunan utamanya. Arsitektur bangunannya sangat menawan. Sangat serius. Ini terlihat di setiap detail ornamennya. Benar-benar tak kusangka, kalau di sebuah desa kecil yang bernama Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang berdiri sebuah bangunan yang arsitekturnya yang bisa membuat hati berdecak kagum. Bagiku, seperti sedang berada di Jatim Park, tapi ini dalam bentuk wisata religi. Maksudnya, begitu kalian datang ke sini, kalian akan disambut oleh sebuah wahana demi wahana, dari kalian melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di dalam bangunan pondok pesantren ini, sampai kalian keluar. Dari tingkat pertama sampai dengan tingkatnya yang ke sepuluh.
     Lebih dari itu, arsitektur yang dipakai bukan hasil ilmu dan imajinasi seorang arsitek yang handal. Tapi dari hasil istikharah si pemilik pondok, KH Ahmad Bahru Mafdlaludin Soleh. “Jadi kita tak tahu kapan pembangunan ponpes ini selesai. Sekarang sudah 10 lantai dibangun, bisa jadi nanti ditambah atau bisa-bisa dikurangi. Semua tergantung istikharah Romo Kyai (Kyai Ahmad, pen.). Romo Kyai juga yang ngepaskan amalan-amalan. Mungkin karena itu, di luar sana muncul berita bahwa bangunan ini adalah masjid tiban. Padahal ini bukan masjid tapi ponpes, “ tutur Gus Alief Sumarsono, salah seorang santri yang bertugas untuk mengantarku berkeliling ketika itu.
     Sebelum aku bertanya tentang kegundahan hatiku perihal kenapa kok harus membangun bangunan yang begitu megahnya itu, padahal uangnya kan bisa digunakan untuk membantu sesama, Gus Alief juga sudah terlebih dahulu menambahkan, “Banyak yang berkata bangunan tidak dibawa mati. Tapi kita tidak begitu. Kalau hanya diberikan orang miskin, misal uang sepuluh ribu. Ya, sudah hanya buat makan hari itu saja terus gak berarti. Tapi kalau uang sepuluh ribu itu buat beli batu-bata, jadi bagian dari bangunan ponpes ini. Lihat sampeyan atau pengunjung lain yang datang ke sini senang hatinya. Syukur-syukur kalau nanti kebuka hatinya, tentu hal itu akan lebih barokah.”
     Gus Alief tak sekadar ngecap, tiap hari selalu datang pengunjung dari berbagai kota ke ponpes ini. Di buku tamu pun berbagai komentar tentang keindahan ponpes ini tertulis. Bahkan, tak jarang ada yang mengaku tersentuh hatinya ketika memasuki sebuah ruang. “Tiap orang berbeda. Sampean mungkin tersentuh di ruang mushala, mungkin yang lainnya di taman. Dulu ada orang Tasikmalaya datang malam-malam, tobat di sini setelah sebelumnya mendatangi ponpes ini,” tutur Gus Alief.

Ilmu Ikhlas

     Sejak tahun 1978, Kyai Ahmad murid Kiai Sahlan di Sidoarjo ini memilih Turen untuk mendirikan ponpesnya. Sejak itulah, dengan dibantu oleh para santrinya, Kiai Ahmad memulai pembangunan ponpes dengan alat pertukangan sederhana dan proses belajar sendiri. Jadi hangan heran kalau akhirnya santri-santrinya punya spesialis ketrampilan.
     Santri Kiai Ahmad sekarang ada 32 yang sudah berkeluarga dan tinggal di sini. Jadi bisa dihitung tambahan santrinya. Sedang yang belum berkeluarga ada 37 orang. Semua santri itulah yang menjadi tukang sekaligus mandor bangunan ini. Mereka bekerja tidak menggunakan alat-alat berat modern. Semua dikerjakan sendiri.
     Dengan belajar langsung dalam pembangunan ponpes inilah para santri diajar ngaji kehidupan sehari-hari. “Mereka yang sudah berkeluarga pun yang belum akan memiliki peran sendiri-sendiri Di ponpes ini, orang bertabiat A sampai Z ada. Di sinilah mereka tersentuh hatinya. Dengan ikut berpartisipasi ini mereka mengamalkan ajaran cinta bukan pahala,” ungkap Gus Alief.
      Harus diakui, lamanya proses pembagunan ponpes ini mengisyaratkan perlunya kesabaran dan keikhlasan. Tiap detil ornamen harus digarap dengan sabar dan teliti. Selain pekerjaan yang tak mudah itu, sebagai tukang, para santri juga bukan orang yang dibayar. Keikhlasanlah yang akhirnya menjadi oase di dalam hatinya.
     “Semua itu tentu saja sumbernya dari cinta. Dalam agama kita diajarkan itu semua. Dengan menjalani itu semua para santri membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati. Kalau raganya yang sakit, datang ke sini maka yang disembuhkan adalah hatinya dulu,” urai Gus Alief. Sesudah itu semua, yang tak boleh dilupakan adalah ibadah syukur. “Ngibadah syukur tidak ada berhentinya. Yang tidak bisa, ya kita doakan saja.” Pungkas Gus Alief.
Bangunan Hikmah Bukan Nafsu
     SETIAP tanggal 17 Agustus atau ketika pondok mengadakan tasyakuran, di ponpes ini selalu dibentangkan bendera merah putih yang beratnya kira-kira mencapai 1 kuintal. Di salah satu lantai atas, tali-tali sudah ditata membentuk bentangan bendera yang sangat besar. Di bawah bentangan itu, ada kios-kios souvenir yang dikelola oleh para santri wanita.
     Di pintu gerbang utama, kalian akan melihat dua buah bangunan mirip guci yang sangat besar dan tinggi berwarna oranye dan biru. Keduanya dipakai untuk pos. Di sisi kanan terletak sebuah taman yang dikelilingi pagar seperti taman bergaya Persia atau India.
     Di lantai dasar, memasuki pintu utama, lewat lorong yang di sisi kiri kanannya penuh ornamen. Ornamen itu mirip batik dipenuhi bentuk daun atau bunga. Di sisi lain juga ada kaligrafi. Di salah satu lantai juga ada beberapa ruang mirip gua, dipenuhi batu-batu yang diterangi lampu. Sementara di sisi kiri-kanannya beberapa akuarium berjajar dipenuhi berbagai ikan hias.
     Semakin lama disusuri semakin banyak aku menemukan keindahan. Ada sebuah kolam lengkap dengan perahu yang penuh hiasan yang biasa digunakan untuk acara foto pre-wedding bagi pasangan calon pengantin. Di pinggir pondok juga ada taman margasatwa. Di situ ada beberapa pasang kijang dan beberapa ekor buruh cendrawasih.
     Keindahan ini sangat diperhatikan. Seperti kata Gus Alief di atas, hal itu agar membuat para pengunjung senang berada di lingkungan ponpes. “Siapa tahu mereka akan terketuk, terbuka hatinya. Demikian juga dengan santri-santri di sini, mereka semua belajar,” ujar Gus Alief.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar